Tuesday, February 13, 2007

Jakarta Under Water

Cover GATRA Edisi 13/2007 (GATRA/Tim Desain)Upaya penanggulangan banjir Jakarta hampir seusia sejarah kota itu sendiri. Dari zaman ke zaman frekuensi kedatangannya semakin kerap. Pada zaman kolonial Belanda frekuensinya pada kisaran 20 tahun, berikutnya menjadi per 10 tahun, dan kini lima tahunan. Perilaku ini tak lepas dari perubahan iklim global dan tata lingkungan Jakarta serta daerah-daerah penyangga di sebelah selatan.

Pada 1854 telah berdiri badan khusus yang bertugas mengurusi banjir, yakni Burgelijke Openbare Werken atau disingkat BOW, cikal bakal Departemen PU, yang sekarang bernama Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah.

Hanya saja, instansi itu tak berkutik menghadapi perilaku sungai-sungai tropis yang variasi debitnya begitu tinggi. Debit Ciliwung, misalnya, di musim kemarau hanya 1-2 meter kubik per detik. Puncaknya terjadi pada 1873, ketika hampir seluruh kota Batavia terendam hingga satu meter. Sebagai sindiran kegagalan ini, warga memelesetkan BOW menjadi Batavia Onder Water.

Baru pada 1920 muncul konsep penanggulangan banjir yang komplet dari tim yang dipimpin Prof. H. van Breen. Konsep ini lahir setelah Jakarta dilanda banjir hebat pada 1918. Saat itu, Van Breen memperkenalkan konsep pengendalian aliran air dari hulu sungai dan mengatur volume air yang masuk ke kota Jakarta. Selain itu, Breen juga menyarankan penimbunan daerah-daerah rendah.

Untuk itu, Van Breen menyarankan ada saluran kolektor di pinggiran selatan kota untuk menampung limpahan air, dan selanjutnya dialirkan ke laut menyusuri tepian barat kota. Ini ditujukan untuk membelokkan aliran air, sehingga tidak langsung menerjang pusat kota. Saluran kolektor yang mulai dibangun pada 1922 ini di kemudian hari dikenal sebagai Banjir Kanal Barat (BKB).

Kemudian, Master Plan Pengendalian Banjir yang disahkan pada 1973 (dikenal sebagai Master Plan 1973) berupa rencana pembuatan saluran kolektor di sebelah timur atau Banjir Kanal Timur (BKT). Saluran BKT rencananya dibangun memotong Sungai Cipinang, Sunter, Buaran, dan Cakung. Seluruh aliran empat sungai itu akan ditampung di BKT, untuk kemudian dibuang ke ke laut melalui daerah Marunda.

Tapi, lagi-lagi, ketidakadaan dana membuat proyek BKT tak kunjung terwujud. Baru pada 10 Juli 2003, setahun setelah banjir hebat 2002, proyek BKT dicanangkan dan ditargetkan bisa rampung tahun 2010. Proyek yang saat itu diperkirakan menelan biaya Rp 4,124 trilyun ini akan membentang sepanjang 23,5 kilometer. Rata-rata lebar sungai sekitar 100 meter, dengan kedalaman tiga meter.

Sebagian besar anggaran itu, yakni Rp 2,186 trilyun, untuk pembebasan lahan. Dalam tahap pelaksanaannya, lagi-lagi proyek strategis ini terbentur kendala. Terutama oleh perkara pembebasan tanah, yang sebagian besar dimiliki warga dan pihak swasta. Di beberapa tempat sering terjadi tumpang tindih penguasaan lahan.

Planolog Abdul Alim Alam berpendapat, yang tak kalah penting adalah membuat agar air bisa sebanyak-banyaknya terserap ke dalam tanah. Bukan mengalir di permukaan. Kondisi ini bisa terjadi bila di daerah hulu atau selatan Jakarta memperluas areal RTH. Celakanya, yang terjadi justru sebaliknya. Lahan tangkapan air itu terus menyusut, tersudut oleh pembangunan, baik di Puncak, Bogor, maupun Depok.

Namun rencana itu pun tinggal sebagai wacana. Rencana pembangunan Bendung Depok, misalnya, bukannya terlaksana. Walau sudah dilakukan studi kelayakan, kini yang terjadi, di atas rencana areal bendungan itu terhampar perumahan elite. Nasib serupa menimpa situ-situ yang pernah ada, yang diperkirakan mencapai 200-an. Kondisinya sungguh menyedihkan. Sebagian sudah menghilang, berubah menjadi daratan.

Hidayat Gunadi
[Laporan Utama, Gatra Nomor 13 Beredar Kamis, 8 Februari 2007]

5 comments:

Atik jarang OL said...

judulnya pas sekali,makin tahun makin runyam.......

edc Wolsink said...

Btul tuh...heran deh:(

dewi sari said...

Iya bener...lama lama kalo nggak bikin bendungan sama saluran air jakarta bakalan tenggelam nih...

dewi sari said...

Ck..ck...ck....mau diapain tuh jakarta...

Umi Serge said...

Sami mawon jeNg ama departement spoor wagen nya ! ! ! kalau aku bilang sih jakarta mesti di Pindah Ke Belgia yang agak tinggian LOL ........